Selasa, 24 Maret 2009

JANGAN "NGAMBEK" > BERKEPANJANGAN TERHADAP ORANG > YANG KAU > KASIHI.

> Kiriman Rina_Wiriana@
> app.co.id
> wrote:
> Bagi yg sudah pernah baca, luangkan waktu untuk baca sekali
>
> lagi
> Ini adalah cerita sebenarnya ( diceritakan oleh Lu Di dan
> di
> edit oleh
> Lian Shu Xiang )
>
> Sebuah salah pengertian yg
> mengakibatkan kehancuran sebuah rumah tangga.
> Tatkala nilai akhir sebuah
> kehidupan sudah terbuka,tetapi
> segalanya sudah terlambat. Membawa
> nenek utk tinggal bersama
> menghabiskan masa tuanya bersama kami,
> malah telah menghianati ikrar
> cinta yg telah kami buat selama
> ini,setelah 2 tahun menikah, saya dan
> suami setuju menjemput nenek
> di kampung utk tinggal bersama .
>
> Sejak kecil suami saya telah
> kehilangan ayahnya, dia adalah satu-satunya
> harapan nenek, nenek
> pula yg membesarkannya dan menyekolahkan dia hingga
>
> tamat
> kuliah.
> Saya terus mengangguk tanda setuju, kami segera menyiapkan
> sebuah kamar
> yg menghadap taman untuk nenek, agar dia dapat
> berjemur, menanam bunga
> dan sebagainya. Suami berdiri didepan kamar
> yg sangat kaya dgn sinar
> matahari,tidak sepatah katapun yg terucap
> tiba-tiba saja dia mengangkat
> saya dan memutar-mutar saya seperti
> adegan dalam film India dan berkata
> :"Mari,kita jemput nenek di
> kampung".
>
> Suami berbadan tinggi besar, aku suka sekali
> menyandarkan kepalaku ke
> dadanya yg bidang, ada suatu perasaan
> nyaman dan aman disana. Aku
> seperti sebuah boneka kecil yg kapan
> saja bisa diangkat dan dimasukan
> kedalam kantongnya. Kalau terjadi
> selisih paham diantara kami, dia suka
> tiba-tiba mengangkatku
> tinggi-tinggi diatas kepalanya dan diputar-putar
> sampai aku
> berteriak ketakutan baru diturunkan.Aku sungguh
> menikmati
> saat-saat
> seperti itu.
>
> Kebiasaan nenek di kampung tidak berubah. Aku suka
> sekali menghias rumah
> dengan bunga segar, sampai akhirnya nenek
> tidak tahan lagi dan berkata
> kepada suami:"Istri kamu hidup
> foya-foya, buat apa beli bunga? Kan bunga
> tidak bisa dimakan?" Aku
> menjelaskannya kepada nenek:"Ibu, rumah dengan
>
> bunga segar membuat
> rumah terasa lebih nyaman dan suasana hati lebih
> gembira."Nenek
> berlalu sambil mendumel, suamiku berkata sambil
> tertawa:
> "Ibu, ini
> kebiasaan orang kota , lambat laun ibu akan
> terbiasa juga."
>
> Nenek
> tidak protes lagi, tetapi setiap kali melihatku
> pulang sambil
>
> membawa bunga,dia tidak bisa menahan diri untuk bertanya
> berapa
> harga
> bunga itu, setiap mendengar jawabanku dia selalu mencibir
> sambil
> menggeleng-gelengka n kepala. Setiap membawa pulang barang
> belanjaan,dia
> selalu tanya itu berapa harganya ,ini berapa.Setiap
> aku jawab, dia
> selalu berdecak dengan suara keras.Suamiku memencet
> hidungku sambil
> berkata:"Putriku, kan kamu bisa berbohong.Jangan
> katakan harga yang
> sebenarnya." Lambat laun, keharmonisan dalam
> rumah tanggaku mulai terusik.
>
> Nenek sangat tidak bisa menerima
> melihat suamiku bangun pagi menyiapkan
> sarapan pagi untuk dia
> sendiri, di mata nenek seorang anak laki-laki
> masuk ke dapur adalah
> hal yang sangat memalukan. Di meja makan, wajah
> nenek selalu
> cemberut dan aku sengaja seperti tidak
> mengetahuinya. Nenek
> selalu
> membuat bunyi-bunyian dengan alat makan seperti
> sumpit dan
> sendok,
> itulah cara dia protes.
>
> Aku adalah instrukstur tari, seharian
> terus menari membuat badanku
> sangat letih, aku tidak ingin membuang
> waktu istirahatku dengan bangun
> pagi apalagi disaat musim dingin..
> Nenek kadang juga suka membantuku di
> dapur, tetapi makin dibantu aku
> menjadi semakin repot, misalnya; dia
> suka menyimpan semua
> kantong-kantong bekas belanjaan, dikumpulkan bisa
> untuk dijual
> katanya.Jadilah rumahku seperti tempat pemulungan
> kantong
> plastik,
> dimana-mana terlihat kantong plastik besar tempat
> semua
> kumpulan
> kantong plastik.
>
> Kebiasaan nenek mencuci piring bekas makan tidak
> menggunakan cairan
> pencuci, agar supaya dia tidak tersinggung, aku
> selalu mencucinya sekali
> lagi pada saat dia sudah tidur.Suatu hari,
> nenek mendapati aku sedang
> mencuci piring malam harinya, dia segera
> masukke kamar sambil membanting
> pintu dan menangis.Suamiku jadi
> serba salah, malam itu kami tidur
> seperti orang bisu, aku coba
> bermanja-manja dengan dia, tetapi dia tidak
> perduli. Aku menjadi
> kecewa dan marah."Apa salahku?" Dia
> melotot sambil
> berkata:"Kenapa
> tidak kamu biarkan saja? Apakah memakan dengan
> pring itu
> bisa
> membuatmu mati?"
>
> Aku dan nenek tidak bertegur sapa untuk waktu yg
> culup lama, suasana
> mejadi kaku. Suamiku menjadi sangat kikuk, tidak
> tahu harus berpihak
> pada siapa? Nenek tidak lagi membiarkan suamiku
> masuk ke dapur, setiap
> pagi dia selalu bangun lebih pagi dan
> menyiapkan sarapan untuknya, suatu
> kebahagiaan terpancar di wajahnya
> jika melihat suamiku makan dengan
> lahap, dengan sinar mata yang
> seakan mencemohku sewaktu melihat padaku,
> seakan berkata dimana
> tanggung jawabmu sebagai seorang istri?
> Demi menjaga suasana pagi
> hari tidak terganggu, aku selalu membeli
> makanan diluar pada saat
> berangkat kerja. Saat tidur, suami berkata:"Lu
>
> di, apakah kamu
> merasa masakan ibu tidak enak dan tidak bersih
> sehingga
> kamu tidak
> pernah makan di rumah?" sambil memunggungiku
> dia berkata
> tanpa
> menghiraukan air mata yg mengalir di kedua belah
> pipiku.Dan dia
>
> akhirnya berkata:"Anggaplah ini sebuah permintaanku,
> makanlah
> bersama
> kami setiap pagi."Aku mengiyakannya dan kembali ke
> meja
> makan yg serba
> canggung itu.
>
> Pagi itu nenek memasak bubur,
> kami sedang makan dan tiba-tiba ada suatu
> perasaan yg sangat mual
> menimpaku, seakan-akan isi perut mau keluar
> semua.Aku menahannya
> sambil berlari ke kamar mandi, sampai disana aku
> segera mengeluarkan
> semua isi perut. Setelah agak reda, aku melihat
> suamiku berdiri
> didepan pintu kamar mandi dan memandangku dengan
> sinar
> mata yg
> tajam, diluar sana terdengar suara tangisan nenek
> dan
> berkata-kata
> dengan bahasa daerahnya. Aku terdiam dan terbengong
> tanpa
> bisa
> berkata-kata. Sungguh bukan sengaja aku berbuat
> demikian!..
> Pertama
> kali dalam perkawinanku, aku bertengkar hebat
> dengan suamiku,
> nenek
> melihat kami dengan mata merah dan berjalan
> menjauh……suamiku
> segera
> mengejarnya keluar rumah.
>
> Menyambut anggota baru tetapi dibayar
> dengan nyawa nenek.
> Selama 3 hari suamiku tidak pulang ke rumah dan
> tidak juga meneleponku.
> Aku sangat kecewa, semenjak kedatangan nenek
> di rumah ini, aku sudah
> banyak mengalah, mau bagaimana lagi? Entah
> kenapa aku selalu merasa mual
> dan kehilangan nafsu makan ditambah
> lagi dengan keadaan rumahku yang
> kacau, sungguh sangat menyebalkan.
> Akhirnya teman sekerjaku berkata:"Lu
> Di, sebaiknya kamu periksa ke
> dokter."Hasil pemeriksaan menyatakan aku
> sedang hamil. Aku baru
> sadar mengapa aku mual-mual pagi itu. Sebuah
> berita gembira yg
> terselip juga kesedihan. Mengapa suami dan nenek
> sebagai orang yg
> berpengalaman tidak berpikir sampai sejauh itu?
>
> Di pintu masuk
> rumah sakit aku melihat suamiku, 3 hari tidak
> bertemu dia
> berubah
> drastis, muka kusut kurang tidur, aku ingin segera
> berlalu
> tetapi
> rasa iba membuatku tertegun dan memanggilnya. Dia
> melihat ke
> arahku
> tetapi seakan akan tidak mengenaliku lagi,
> pandangan matanya
> penuh
> dengan kebencian dan itu melukaiku. Aku berkata
> pada diriku
> sendiri,
> jangan lagi melihatnya dan segera memanggil taksi.
> Padahal aku
> ingin
> memberitahunya bahwa kami akan segera memiliki
> seorang anak. Dan
>
> berharap aku akan diangkatnya tinggi-tinggi dan
> diputar-putar sampai
> aku
> minta ampun tetapi..... mimpiku tidak menjadi kenyataan.
> Didalam
> taksi
> air mataku mengalir dengan deras. Mengapa kesalah pahaman
> ini
> berakibat
> sangat buruk?
>
> Sampai di rumah aku berbaring di
> ranjang memikirkan peristiwa tadi,
> memikirkan sinar matanya yg penuh
> dengan kebencian, aku menangis dengan
> sedihnya. Tengah malam,aku
> mendengar suara orang membuka laci, aku
> menyalakan lampu dan melihat
> dia dgn wajah berlinang air mata sedang
> mengambil uang dan buku
> tabungannya. Aku nenatapnya dengan dingin tanpa
> berkata-kata. Dia
> seperti tidak melihatku saja dan segera berlalu.
> Sepertinya dia
> sudah memutuskan utk meninggalkan aku.. Sungguh
> lelaki yg
> sangat
> picik, dalam saat begini dia masih bisa membedakan
> antara cinta
>
> dengan uang. Aku tersenyum sambil menitikan air mata.
>
> Aku
> tidak masuk kerja keesokan harinya, aku ingin
> secepatnya membereskan
>
> masalah ini, aku akan membicarakan semua masalah ini dan
> pergi
>
> mencarinya di kantornya.Di kantornya aku bertemu dengan
> seketarisnya
> yg
> melihatku dengan wajah bingung."Ibunya pak direktur
> baru saja
> mengalami
> kecelakaan lalu lintas dan sedang berada di rumah sakit.
> Mulutku terbuka
> lebar.Aku segera menuju rumah sakit dan saat
> menemukannya, nenek sudah
> meninggal. Suamiku tidak pernah menatapku,
> wajahnya kaku. Aku memandang
> jasad nenek yg terbujur kaku. Sambil
> menangis aku menjerit dalam
> hati:"Tuhan, mengapa ini bisa
> terjadi?"
> Sampai selesai upacara pemakaman, suamiku tidak pernah
> bertegur sapa
> denganku,
> jika memandangku selalu dengan pandangan
> penuh dengan kebencian.
>
> Peristiwa kecelakaan itu aku juga tahu
> dari orang lain, pagi itu nenek
> berjalan ke arah terminal, rupanya
> dia mau kembali ke kampung. Suamiku
> mengejar sambil berlari, nenek
> juga berlari makin cepat sampai tidak
> melihat sebuah bus yg datang
> ke arahnya dengan kencang. Aku baru
> mengerti mengapa pandangan
> suamiku penuh dengan kebencian. Jika aku
> tidak muntah pagi itu, jika
> kami tidak bertengkar,
> jika........ ....dimatanya, akulah penyebab
> kematian nenek.
>
> Suamiku pindah ke kamar nenek, setiap malam
> pulang kerja dengan badan
> penuh dengan bau asap rokok dan alkohol.
> Aku merasa bersalah tetapi juga
> merasa harga diriku terinjak-injak.
> Aku ingin menjelaskan bahwa semua
> ini bukan salahku dan juga
> memberitahunya bahwa kami akan segera
> mempunyai anak. Tetapi melihat
> sinar matanya, aku tidak pernah
> menjelaskan masalah ini. Aku rela
> dipukul atau dimaki-maki olehnya
> walaupun ini bukan salahku. Waktu
> berlalu dengan sangat lambat.Kami
> hidup serumah tetapi seperti tidak
> mengenal satu sama lain. Dia pulang
> makin larut malam. Suasana
> tegang didalam rumah.
>
> Suatu hari, aku berjalan melewati sebuah
> café, melalui keremangan lampu
> dan kisi-kisi jendela, aku melihat
> suamiku dengan seorang wanita
> didalam. Dia sedang menyibak rambut
> sang gadis dengan mesra. Aku
> tertegun dan mengerti apa yg telah
> terjadi. Aku masuk kedalam dan
> berdiri di depan mereka sambil
> menatap tajam kearahnya. Aku tidak
> menangis juga tidak berkata
> apapun karena aku juga tidak tahu harus
> berkata apa. Sang gadis
> melihatku dan ke arah suamiku dan segera hendak
> berlalu. Tetapi
> dicegah oleh suamiku dan menatap kembali ke arahku
>
> dengan sinar mata
> yg tidak kalah tajam dariku. Suara detak jangtungku
>
> terasa sangat
> keras, setiap detak suara seperti suara menuju
> kematian.
>
>
> Akhirnya aku mengalah dan berlalu dari hadapan mereka, jika
>
> tidak..
> mungkin aku akan jatuh bersama bayiku dihadapan
> mereka.
> Malam itu dia tidak pulang ke rumah. Seakan menjelaskan
> padaku apa yang
> telah terjadi. Sepeninggal nenek, rajutan cinta
> kasih kami juga
> sepertinya telah berakhir. Dia tidak kembali lagi ke
> rumah, kadang
> sewaktu pulang ke rumah, aku mendapati lemari seperti
> bekas dibongkar.
> Aku tahu dia kembali mengambil barang-barang
> keperluannya. Aku tidak
> ingin menelepon dia walaupun kadang
> terbersit suatu keinginan untuk
> menjelaskan semua ini.. Tetapi itu
> tidak terjadi..... ...., semua berlalu
> begitu saja.
>
> Aku mulai
> hidup seorang diri, pergi check kandungan seorang
> diri. Setiap
> kali
> melihat sepasang suami istri sedang check kandungan
> bersama, hati
>
> ini serasa hancur. Teman-teman menyarankan agar aku
> membuang saja
> bayi
> ini, tetapi aku seperti orang yg sedang histeris
> mempertahankan
>
> miliknya. Hitung-hitung sebagai pembuktian kepada nenek
> bahwa aku
> tidak
> bersalah.
>
> "Suatu hari pulang kerja,aku melihat dia
> duduk didepan ruang tamu.
> Ruangan penuh dengan asap rokok dan ada
> selembar kertas diatas meja,
> tidak perlu tanya aku juga tahu surat
> apa itu.2 bulan hidup sendiri, aku
> sudah bisa mengontrol emosi.
> Sambil membuka mantel dan topi aku berkata
> kepadanya:""Tunggu
> sebentar, aku akan segera menanda
> tanganinya"".Dia
> melihatku dengan
> pandangan awut-awutan demikian juga aku. Aku
> berkata
> pada diri
> sendiri, jangan menangis, jangan menangis. Mata ini
> terasa
> sakit
> sekali tetapi aku terus bertahan agar air mata ini
> tidak keluar.
>
>
> Selesai membuka mantel, aku berjalan ke arahnya dan
> ternyata dia
>
> memperhatikan perutku yg agak membuncit. Sambil duduk di
> kursi, aku
>
> menanda tangani surat itu dan menyodorkan
> kepadanya.""Lu Di, kamu
>
> hamil?"" Semenjak nenek meninggal, itulah pertama
> kali dia berbicara
>
> kepadaku. Aku tidak bisa lagi membendung air mataku yg
> menglir
> keluar
> dengan derasnya.. Aku menjawab:""Iya, tetapi
> tidak apa-apa.
> Kamu sudah
> boleh pergi"".Dia tidak pergi, dalam keremangan
> ruangan
> kami saling
> berpandangan. Perlahan-lahan dia membungkukan badannya
> ke tanganku, air
> matanya terasa menembus lengan bajuku.Tetapi di
> lubuk hatiku, semua
> sudah berlalu, banyak hal yg sudah pergi dan
> tidak bisa diambil kembali.
> "Entah sudah berapa kali aku mendengar
> dia mengucapkan kata:"Maafkan
> aku, maafkan aku". Aku pernah berpikir
> untuk memaafkannya tetapi tidak
> bisa. Tatapan matanya di cafe itu
> tidak akan pernah aku lupakan.Cinta
> diantara kami telah ada sebuah
> luka yg menganga. Semua ini adalah sebuah
> akibat kesengajaan
> darinya.
>
> Berharap dinding es itu akan mencair, tetapi yang telah
> berlalu tidak
> akan pernah kembali.Hanya sewaktu memikirkan bayiku,
> aku bisa bertahan
> untuk terus hidup. Terhadapnya, hatiku dingin
> bagaikan es, tidak pernah
> menyentuh semua makanan pembelian dia,
> tidak menerima semua hadiah
> pemberiannya tidak juga berbicara lagi
> dengannya. Sejak menanda tangani
> surat itu, semua cintaku padanya
> sudah berlalu, harapanku telah lenyap
> tidak berbekas.
>
> Kadang
> dia mencoba masuk ke kamar untuk tidur bersamaku,
> aku segera
> berlalu
> ke ruang tamu, dia terpaksa kembali ke kamar nenek.
> Malam hari,
>
> terdengar suara orang mengerang dari kamar nenek tetapi aku
> tidak
>
> perduli. Itu adalah permainan dia dari dulu. Jika aku tidak
> perduli
>
> padanya, dia akan berpura-pura sakit sampai aku
> menghampirinya dan
>
> bertanya apa yang sakit. Dia lalu akan memelukku sambil
> tertawa
>
> terbahak-bahak. Dia lupa........ , itu adalah dulu, saat
> cintaku
> masih
> membara, sekarang apa lagi yg aku miliki?
>
> Begitu
> seterusnya, setiap malam aku mendengar suara orang
> mengerang
> sampai
> anakku lahir. Hampir setiap hari dia selalu membeli
> barang-barang
>
> perlengkapan bayi, perlengkapan anak-anak dan buku-buku
> bacaan untuk
>
> anak-anak. Setumpuk demi setumpuk sampai kamarnya penuh
> sesak dengan
>
> barang-barang. Aku tahu dia mencoba menarik simpatiku
> tetapi aku
> tidak
> bergeming. Terpaksa dia mengurung diri dalam kamar, malam
> hari
> dari
> kamarnya selalu terdengar suara pencetan keyboard komputer.
>
> Mungkin dia
> lagi tergila-gila chatting dan berpacaran di dunia maya
> pikirku. Bagiku
> itu bukan lagi suatu masalah.
>
> Suatu malam di
> musim semi, perutku tiba-tiba terasa sangat sakit
> dan aku
> berteriak
> dengan suara yg keras. Dia segera berlari masuk ke
> kamar,
> sepertinya
> dia tidak pernah tidur. Saat inilah yg
> ditunggu-tunggu
> olehnya. Aku
> digendongnya dan berlari mencari taksi ke rumah
> sakit.
> Sepanjang
> jalan, dia mengenggam dengan erat tanganku,
> menghapus keringat
>
> dingin yg mengalir di dahiku. Sampai di rumah sakit, aku
> segera
>
> digendongnya menuju ruang bersalin. Di punggungnya yg kurus
> kering,
> aku
> terbaring dengan hangat dalam dekapannya. Sepanjang
> hidupku,
> siapa lagi
> yg mencintaiku sedemikian rupa jika bukan
> dia?
>
> Sampai dipintu ruang bersalin, dia memandangku dengan
> tatapan penuh
> kasih sayang saat aku didorong menuju persalinan,
> sambil menahan sakit
> aku masih sempat tersenyum padanya.. Keluar
> dari ruang bersalin, dia
> memandang aku dan anakku dengan wajah penuh
> dengan air mata sambil
> tersenyum bahagia. Aku memegang tangannya,
> dia membalas memandangku
> dengan bahagia, tersenyum dan menangis lalu
> terjerambab ke lantai.. Aku
> berteriak histeris memanggil
> namanya.
>
> Setelah sadar, dia tersenyum tetapi tidak bisa membuka
> matanya………aku
> pernah berpikir tidak akan lagi meneteskan sebutir air
> matapun untuknya,
> tetapi kenyataannya tidak demikian, aku tidak
> pernah merasakan sesakit
> saat ini. Kata dokter, kanker hatinya sudah
> sampai pada stadium
> mematikan, bisa bertahan sampai hari ini sudah
> merupakan sebuah
> mukjijat. Aku tanya kapankah kanker itu terdeteksi?
> 5 bulan yg lalu kata
> dokter, bersiap-siaplah menghadapi kemungkinan
> terburuk. Aku tidak lagi
> perduli dengan nasehat perawat, aku segera
> pulang ke rumah dan ke kamar
> nenek lalu menyalakan
> komputer.
>
> Ternyata selama ini suara orang mengerang adalah benar
> apa adanya, aku
> masih berpikir dia sedang bersandiwara…………Sebuah
> surat yg sangat panjang
> ada di dalam komputer yg ditujukan kepada
> anak kami."Anakku, demi dirimu
> aku terus bertahan, sampai aku bisa
> melihatmu. Itu adalah harapanku. Aku
> tahu dalam hidup ini, kita akan
> menghadapi semua bentuk kebahagiaan dan
> kekecewaan, sungguh bahagia
> jika aku bisa melaluinya bersamamu tetapi
> ayah tidak mempunyai
> kesempatan untuk itu. Didalam komputer ini, ayah
> mencoba memberikan
> saran dan nasehat terhadap segala kemungkinan hidup
>
> yg akan kamu
> hadapi. Kamu boleh mempertimbangkan saran ayah.
> """Anakku, selesai
> menulis surat ini, ayah merasa telah menemanimu
> hidup
> selama
> bertahun -tahun. Ayah sungguh bahagia. Cintailah
> ibumu, dia
> sungguh
> menderita, dia adalah orang yg paling mencintaimu
> dan adalah
> orang
> yg paling ayah cintai"".
>
> Mulai dari kejadian yg mungkin akan
> terjadi sejak TK , SD , SMP, SMA
> sampai kuliah, semua tertulis
> dengan lengkap didalamnya. Dia juga
> menulis sebuah surat
> untukku.""Kasihku, dapat menikahimu
> adalah hal yg
> paling bahagia aku
> rasakan dalam hidup ini. Maafkan salahku, maafkan
> aku
> tidak pernah
> memberitahumu tentang penyakitku. Aku tidak mau
> kesehatan
> bayi kita
> terganggu oleh karenanya. Kasihku, jika engkau
> menangis
> sewaktu
> membaca surat ini, berarti kau telah memaafkan aku.
> Terima kasih
>
> atas cintamu padaku selama ini.. Hadiah-hadiah ini aku
> tidak punya
>
> kesempatan untuk memberikannya pada anak kita. Pada
> bungkusan hadiah
>
> tertulis semua tahun pemberian padanya""."
>
> Kembali ke rumah
> sakit, suamiku masih terbaring lemah. Aku
> menggendong
> anak kami dan
> membaringkannya diatas dadanya sambil berkata:
> "Sayang,
> bukalah
> matamu sebentar saja, lihatlah anak kita. Aku mau
> dia merasakan
>
> kasih sayang dan hangatnya pelukan ayahnya"..Dengan
> susah payah dia
>
> membuka matanya, tersenyum... ......... ..anak itu tetap
> dalam
> dekapannya,
> dengan tangannya yg mungil memegangi tangan ayahnya yg
> kurus dan lemah.
> Tidak tahu aku sudah menjepret berapa kali momen
> itu dengan kamera di
> tangan sambil berurai air mata........
> .......... ....
>
> Teman2 terkasih, aku sharing cerita ini kepada
> kalian, agar kita semua
> bisa menyimak pesan dari cerita ini.Mungkin
> saat ini air mata kalian
> sedang jatuh mengalir atau mata masih
> sembab sehabis menangis, ingatlah
> pesan dari cerita ini :"Jika ada
> sesuatu yg mengganjal di hati diantara
> kalian yg saling mengasihi,
> sebaiknya utarakanlah jangan simpan didalam
> hati. Siapa tau apa yg
> akan terjadi besok? Ada sebuah pertanyaan: Jika
> kita tahu besok
> adalah hari kiamat, apakah kita akan menyesali
> semua hal
> yg telah
> kita perbuat? atau apa yg telah kita ucapkan?
> Sebelum segalanya
>
> menjadi terlambat, pikirlah matang2 semua yg akan kita
> lakukan
> sebelum
> kita menyesalinya seumur hidup.
> Diterjemahkan secara
> bebas oleh
> aku……………
>
>
>
>
>

Senin, 02 Maret 2009

Pelajaran Surat Tilang

Semoga bermanfaat.
>
> Beberapa waktu yang lalu sekembalinya berbelanja
> kebutuhan, saya sekeluarga pulang dengan menggunakan
> taksi. Ada adegan yang menarik ketika saya menumpang
> taksi
> tersebut, yaitu ketika sopir taksi hendak ditilang
> oleh
> polisi. Sempat teringat oleh saya dialog antara
> polisi dan
> sopir taksi.
>
>
Polisi (P) : Selamat siang mas, bisa lihat Sim dan
> STNK ?
> Sopir (Sop): Baik Pak.
> P : Mas tau kesalahannya apa ?
> Sop: Gak Pak.
>
> P : Ini nomor polisinya gak seperti seharusnya
> (sambil
> nunjuk ke plat nomor taksi yang memang gak standar)
> sambil
> langsung mengeluarkan jurus sakti mengambil buku
> tilang, lalu
> menulis dengan sigap.
> Sop: Pak jangan ditilang deh. Wong plat aslinya udah
> gak
> tau ilang kemana . Kalo ada pasti saya pasang.
>
> P : Sudah saya tilang saja. Kamu tau gak banyak
> mobil
> curian sekarang ? (dengan nada keras !!)
> Sop: (Dengan nada keras juga) Kok gitu !Taksi saya
> kan
> ada STNKnya Pak. ini kan bukan mobil curian !
>
> P: Kamu itu kalo dibilangin kok ngotot (dengan nada
> lebih
> tegas). Kamu terima aja surat tilangnya (sambil
> menyodorkan surat tilang warna MERAH).
> Sop: Maaf, Pak saya gak mau yang warna MERAH
> suratnya.
> Saya mau yang warna BIRU aja.
>
> P : Hey ! (dengan nada tinggi), kamu tahu gak sudah
> 10
> hari ini form biru itu gak berlaku !
> Sop: Sejak kapan Pak form BIRU surat tilang gak
> berlaku ?
>
> P : Ini kan dalam rangka OPERASI, kamu itu gak boleh
> minta
> form BIRU. Dulu kamu bisa minta form BIRU, tapi
> sekarang
> ini kamu gak bisa. Kalo kamu gak mau, ngomong sama
> komandan saya (dengan nada keras dan ngotot)
> Sop: Baik Pak, kita ke komandan Bapak aja sekalian
> (dengan nada nantangin tuh polisi)
>
> Dalam hati saya, berani betul sopir taksi ini.
> P : (Dengan muka bingung) Kamu ini melawan petugas ?
> Sop: Siapa yang melawan ? Saya kan cuman minta form
> BIRU.
> Bapak kan yang gak mau ngasih
>
> P : Kamu jangan macam-macam yah. Saya bisa kenakan
> pasal
> melawan petugas !
> Sop: Saya gak melawan ? Kenapa Bapak bilang form
> BIRU
> udah gak berlaku ? Gini aja Pak, saya foto bapak aja
> deh.
> Kan bapak yang bilang form BIRU gak berlaku(sambil
> ngambil HP)
>
> Wah ... wah .... hebat betul nih sopir ! Berani,
> cerdas
> dan trendy. Terbukti dia mengeluarkan HPnya yang ada
> kamera.
> P : Hey ! Kamu bukan wartawan kan ? Kalo kamu foto
> saya,
> saya bisa kandangin(sambil berlalu).
> Kemudian si sopir taksi itu pun mengejar polisi itu
> dan
> sudah siap melepaskan shoot pertama (tiba-tiba
> dihalau
> oleh seorang anggota polisi lagi)
>
> P 2 : Mas, anda gak bisa foto petugas sepeti itu.
> Sop: Si Bapak itu yang bilang form BIRU gak bisa
> dikasih
> (sambil tunjuk polisi yang menilangnya)
>
> Lalu si polisi ke 2 itu menghampiri polisi yang
> menilang
> tadi. Ada pembicaraan singkat terjadi antara polisi
> yang
> menghalau si sopir dan polisi yang menilang.
> Akhirnya
> polisi yang menghalau tadi menghampiri si sopir
> taksi.
>
> P 2 : Mas, mana surat tilang yang merahnya? (sambil
> meminta)
> Sop: Gak sama saya Pak. Masih sama temen Bapak
> tuh(polisi
> ke 2 memanggil polisi yang menilang)
> P : Sini, tak kasih surat yang biru (dengan nada
> kesal)
> Lalu polisi yang nilang tadi menulis nominal denda
> sebesar
> Rp.30.600 sambil berkata : Nih kamu bayar sekarang
> ke BRI
> ! Lalu kamu ambil lagi SIM kamu disini. Saya tunggu.
> S: (Yes !!) OK Pak ! Gitu dong, kalo gini dari tadi
> kan
> enak.
>
> Kemudian si sopir taksi segera menjalankan kembali
> taksinya sambil berkata pada saya, : Pak, maaf kita
> ke ATM
> sebentar ya . Mau transfer uang tilang . Saya
> berkata :
> "Ya, silakan."
>
> Sopir taks pun langsung ke ATM sambil berkata,
> "Hatiku
> senang banget Pak, walaupun di tilang, bisa ngasih
> pelajaran berharga ke polisi itu. Untung saya paham
> macam-macam surat tilang.
>
> Tambahnya, : "Pak kalo ditilang kita berhak
> minta form
> biru, gak perlu nunggu 2 minggu untuk sidang. Jangan
> pernah pikir mau ngasih DUIT DAMAI ! Mending bayar
> mahal
> ke negara sekalian daripada buat oknum.
>
> Dari obrolan dengan sopir taksi tersebut dapat saya
> infokan ke Anda sebagai berikut :
>
> SLIP MERAH, berarti kita menyangkal kalau melanggar
> aturan
> dan mau membela diri secara hukum (ikut sidang) di
> pengadilan setempat. Itu pun di pengadilan nanti
> masih
> banyak calo, antrian panjang dan oknum pengadilan
> yang
> melakukan pungutan liar berupa pembengkakan nilai
> tilai
> tilang. Kalau kita tidak mengikuti sidang, dokumen
> tilang
> dititipkan di kejaksaan setempat.. Disini pun banyak
> calo
> dan oknum kejaksaan yang melakukan pungutan liar
> berupa
> pembengkakan nilai tilang..
>
> SLIP BIRU, berarti kita mengakui kesalahan kita dan
> bersedia membayar denda. Kita tinggal transfer dana
> via
> ATM ke nomer rekening tertentu (kalo gak salah norek
> Bank
> BUMN).
>
> Sesudah itu kita tinggal bawa bukti transfer untuk
> ditukar
> dengan SIM/STNK kita di Kapolsek terdekat di mana
> kita
> ditilang.
> You know what ? Denda yang tercantum dalam KUHP
> Pengguna
> Jalan Raya tidak melebihi 50ribu ! Dan d ana nya
> RESMI MASUK
> KE KAS NEGARA.
>