Kamis, 19 Februari 2009

Dibalik Cermin Satu arah

Ketika saya masih kecil, kami tinggal di kota New York, hanya satu blok
dari rumah kakek-nenek saya. Setiap malam, kakek saya selalu melakukan
"kewajibannya," dan di setiap musim panas, saya selalu ikut dengannya.

Pada suatu malam, ketika Grandpa (kakek) dan saya sedang jalan kaki
bersama, saya menanyakan apa bedanya keadaan sekarang dengan dulu,
ketika dia masih kecil di tahun 1964. Grandpa bercerita tentang
jamban-jamban di luar rumah, bukan toilet mengkilap, kuda- kuda, bukan
mobil, surat-surat, bukan telepon, dan lilin-lilin, bukan lampu-lampu
listrik.

Sementara dia menceritakan semua hal-hal indah yang sama sekali tidak
pernah terbayang di kepala saya, hati kecil saya mulai penasaran. Lalu
saya tanyakan kepadanya,"Grandpa, apa hal paling susah yang pernah
terjadi dalam hidupmu?"

Grandpa berhenti melangkah, memandang cakrawala, dan membisu beberapa
saat. Lalu dia berlutut, menggenggam tangan saya, dan dengan air mata
berlinang dia mengatakan: "Ketika ibumu dan adik-adiknya masih
kecil-kecil, Grandma (nenek) sakit parah dan untuk bisa sembuh, dia
harus di rawat di satu tempat yang namanya sanatorium, untuk waktu yang
lama sekali. Tidak ada orang yang bisa merawat ibu dan paman-pamanmu
kalau aku sedang pergi kerja, jadi mereka kutitipkan di panti asuhan.
Para biarawati yang membantuku mengurusi mereka, sementara aku harus
melakukan dua atau tiga pekerjaan untuk bisa mengumpulkan uang, agar
Grandma bisa sembuh dan semua orang bisa berkumpul lagi di rumah."

"Yang paling sulit dalam hidupku adalah, aku harus menaruh mereka di
panti asuhan. Setiap minggu aku mengunjungi mereka, tetapi para
biarawati itu tidak pernah mengijinkan aku mengobrol dengan mereka, atau
memeluk mereka. Aku hanya bisa memperhatikan mereka bermain dari balik
sebuah cermin satu arah. Aku selalu membawakan permen setiap minggu,
berharap mereka tahu itu pemberianku. Aku hanya bisa menaruh kedua
tanganku di atas cermin itu selama tiga puluh menit penuh, waktu yang
mereka ijinkan untuk aku melihat anak- anakku, berharap mereka akan
datang dan menyentuh tanganku. "

"Satu tahun penuh kulalui tanpa menyentuh anak-anakku. Aku sangat
merindukan mereka. Tetapi aku juga tahu bahwa itulah tahun yang lebih
sulit lagi bagi mereka. Aku tidak pernah bisa memaafkan diriku sendiri
karena tidak bisa memaksa biarawati itu mengijinkan aku memeluk
anak-anakku. Tetapi kata mereka, kalau diijinkan, itu malah akan lebih
memperburuk keadaan, bukan memperbaikinya, dan mereka akan menjadi lebih
sulit tinggal di panti asuhan itu. Jadi aku menurut saja."

Saya tidak pernah melihat Grandpa menangis.
Dia memeluk saya erat-erat dan saya katakan kepadanya bahwa saya
memiliki Grandpa terbaik di seluruh dunia dan saya sangat menyayanginya.

Lima belas tahun berlalu, dan saya tidak pernah menceritakan acara
jalan-jalan istimewa dengan Grandpa itu kepada siapapun. Dari tahun ke
tahun kami tetap rajin jalan-jalan, sampai keluarga saya dan kakek-nenek
saya pindah ke negara bagian yang berbeda.

Setelah nenek saya meninggal dunia, kakek saya mengalami penurunan
ingatan dan saya yakin itulah periode penuh tekanan baginya. Saya
memohon kepada ibu saya untuk memperbolehkan Grandpa tinggal bersama
kami, tetapi ibu saya menolaknya.

Saya terus merengek, "Ini kan sudah kewajiban kita sebagai keluarga
untuk memikirkan apa yang terbaik baginya." Dengan sedikit marah, ibu
membentak, "Kenapa? Dia sendiri sama sekali tidak pernah perduli pada
apa yang terjadi terhadap kami, anak-anaknya!"

Saya tahu apa yang ibu maksud. "Dia selalu memperhatikan dan menyayangi
kalian," kata saya. Ibu saya menjawab," Kau tidak mengerti apa yang kau
bicarakan!"

"Hal tersulit baginya adalah harus menaruh ibu dan paman Eddie dan paman
Kevin di panti asuhan." "Siapa yang cerita begitu padamu?" tanyanya. Ibu
saya sama sekali tidak pernah membicarakan masa-masa itu kepada kami.

"Mom, dia selalu datang ke tempat itu setiap minggu untuk mengunjungi
anak-anaknya. Dia selalu memperhatikan kalian bermain dari belakang
cermin satu arah itu. Dia selalu membawakan permen setiap kali dia
datang. Dia tidak pernah absen setiap minggu. Dia benci tidak bisa
memeluk kalian selama satu tahun itu!"

"Kau bohong! Dia tidak pernah datang. Tidak pernah ada yang datang
menjenguk kami."

"Lalu bagaimana aku bisa tahu soal kunjungan itu kalau bukan dia yang
cerita ? Bagaimana aku bisa tahu oleh-oleh yang dibawanya? Dia
benar-benar datang. Dia selalu datang. Para biarawati itulah yang tidak
pernah mengijinkan dia menemui kalian, karena kata mereka, akan terlalu
sulit bagi anak-anak kalau melihat ayahnya sudah harus pergi lagi. Mom,
Grandpa menyayangimu, dan selalu begitu!"

Grandpa selalu beranggapan anak-anaknya tahu dia berdiri dibalik cermin
satu arah itu, tetapi karena mereka tidak pernah merasakan kehangatan
dan kekuatan pelukannya, dia pikir mereka telah melupakan
kunjungan-kunjungannya. Sementara, ibu saya dan adik- adiknya
beranggapan dia tidak pernah datang mengunjungi mereka.

Setelah saya menceritakan kebenaran itu kepada ibu saya, hubungannya
dengan Grandpa mulai berubah. Dia menyadari bahwa ayahnya selalu
menyayanginya, dan akhirnya Grandpa tinggal bersama kami sampai akhir
hidupnya. (Laura Reilly)


Sumber: Behind the Mirror by Laura Reilly

1 komentar:

  1. renungan yang indah!

    kadang pengorbanan di nilai menyakitkan, tapi memnang butu komunikasi untuk meluruskannya.

    BalasHapus